Tag Archives: manajemen

Kepala Sekolah Sebagai orang yang terpandang


Kepala Sekolah sebagai pemimpin pendidikan, di lihat dari status dan cara pengangkatan tergolong pemimpin resmi, formal leader, atau status leader.

Status leader bisa meningkat menjadi functional leader.

Tergantung dari prestasi dan kemampuan didalam memainkan peranannya sebagai pemimpin pendidikan sebagai sekolah yang telah diserahkan pertanggungjawaban kepadanya.

Istilah kepemimpinan pendidikan mengandung dua pengertian dimana kata “pendidikan” menerangkan dalam lapangan apa dan dimana kepemimpinan itu berlangsung, dan sekaligus menjadi sifat dan ciri-ciri bagaimana yang harus dimilki pemimpin itu.

Menurut Hadari Nawawi: kepemimpinan adalah kemampuan menggerakkan,  memberikan motivasi dan mempengaruhi orang-orang agar bersedia melakukan tindakan-tindakan yang terarah pada pencapaian tujuan.

Kepala sekolah sebagai orang yang terpandang dilingkunag masyarakat sekolah. Ia sebagi pusat teladan bagi warga sekolah dan warga masyarakat di sekitar sekolah, karena itu ia kepala sekolah wajib melaksanakan petunjuk tentang usaha peningkatan ketahanan sekolah. Pada umumnya kepala sekolah memiliki tanggungjawab sebagi pemimpin dibidang pengajaran dan pengembangan kurikulum, administrasi personalia, administrasi personalia staf, hubungan masyarakat, “school Plant” dan perlengkapan organisasi di sekolah Kepala sekolah dapat menerima tanggungjawab tersebut namun ia belum tentu mengerti dengan jelas bagaimana ia dapat menyumbang kearah perbaikan program pengajaran.

 

Efisiensi dan Efektifitas Pendidikan


            Sesuai dengan pokok permasalahan pendidikan yang ada selain sasaran pemerataan pendidikan dan peningkatan mutu pendidikan, maka ada satu masalah lain yang dinggap penting dalam pelaksanaan pendidikan, yaitu efisiensi dan efektifitas pendidikan.   Permasalahan efisiensi pendidikan dipandang dari segi internal pendidikan.

            Maksud efisiensi adalah apabila sasaran dalam bidang pendidikan dapat dicapai secara efisien atau berdaya guna. Artinya pendidikan akan dapat memberikan hasil yang baik dengan tidak menghamburkan sumberdaya yang ada, seperti uang, waktu, tenaga dan sebagainya. Pelaksanaan proses pendidikan yang efisien adalah apabila pendayagunaan sumber daya seperti waktu, tenaga dan biaya tepat sasaran, dengan lulusan dan produktifitas pendidikan yang optimal.

                  Pada saat sekarng ini, pelaksanaan pendidikan di Indonesia jauh dari efisien, dimana pemanfaatan segala sumberdaya yang ada tidak menghasilkan lulusan yang diharapkan. Banyaknya pengangguran di Indonesia lebih dikarenakan oleh kualitas pendidikan yang telah mereka peroleh. Pendidikan yang mereka peroleh tidak menjamin mereka untuk mendapat pekerjaan sesuai dengan jenjang pendidikan yang mereka jalani. tujuan-pendidikanPendidikan yang efektif adalah pelaksanaan pendidikan dimana hasil yang dicapai sesuai dengan rencana / program yang telah ditetapkan sebelumnya.

              Jika rencana belajar yang telah dibuat oleh dosen dan guru tidak terlaksana dengan sempurna, maka pelaksanaan pendidikan tersebut tidak efektif. Tujuan dari pelaksanaan pendidikan adalah untuk mengembangkan kualitas SDM sedini mungkin, terarah, terpadu dan menyeluruh melalui berbagai upaya. Dari tujuan tersebut, pelaksanaan pendidikan Indonesia menuntut untuk menghasilkan peserta didik yang memeiliki kualitas SDM yang mantap. Ketidakefektifan pelaksanaan pendidikan tidak akan mampu menghasilkan lulusan yang berkualitas. Melainkan akan menghasilkan lulusan yang tidak diharapkan. Keadaan ini akan menghasilkan masalah lain seperti pengangguran. Penanggulangan masalah pendidikan ini dapat dilakukan dengan peningkatan kulitas tenaga pengajar.

              Jika kualitas tenaga pengajar baik, bukan tidak mungkin akan meghasilkan lulusan atau produk pendidikan yang siap untuk mengahdapi dunia kerja. Selain itu, pemantauan penggunaan dana pendidikan dapat mendukung pelaksanaan pendidikan yang efektif dan efisien. Kelebihan dana dalam pendidikan lebih mengakibatkan tindak kriminal korupsi dikalangan pejabat pendidikan. Pelaksanaan pendidikan yang lebih terorganisir dengan baik juga dapat meningkatkan efektifitas dan efisiensi pendidikan. Pelaksanaan kegiatan pendidikan seperti ini akan lebih bermanfaat dalam usaha penghematan waktu dan tenaga. ….

 

wfwsiensi.jpg

 

Budaya dan Karakter Sambut Kurikulum Baru


Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan secara perlahan telah menyiapkan penerapan kurikulum 2013 yang akan segera dilaksanakan pada tahun ajaran baru 2013-2014 mendatang. Hal itu terlepas dari pro dan kontra yang ada dalam masyarakat saat ini. Kurikulum 2013 diharapkan mampu merubah wajah pendidikan nasional saat ini yang masih tertinggal dari negara-negara lain. Salah satu hal yang ditekankan dlam kurikulum 2013 yaitu pengimplentasian ragam budaya dan karakter nasional dalam pembelajaran di sekolah.

Wacana pendidikan karakter tampaknya sangat ditonjolkan untuk perkembangan pendidikan nantinya.    Persoalan pendidikan dan karakter bangsa kini menjadi sorotan tajam masyarakat. Sorotan itu mengenai berbagai aspek kehidupan, tertuang dalam berbagai tulisan di media cetak, wawancara, dialog, dan gelar wicara di media elektronik.

Selain di media massa, para pemuka masyarakat, para ahli, dan para pengamat pendidikan, dan pengamat sosial berbicara mengenai persoalan budaya dan karakter bangsa di berbagai forum seminar, baik pada tingkat lokal, nasional, maupun internasional. Persoalan yang muncul di masyarakat seperti korupsi, kekerasan, kejahatan seksual, perusakan, perkelahian massa, kehidupan ekonomi yang konsumtif, kehidupan politik yang tidak produktif, dan sebagainya menjadi topik pembahasan hangat di media massa, seminar, dan di berbagai kesempatan. Berbagai alternatif penyelesaian diajukan seperti peraturan, undang-undang, peningkatan upaya pelaksanaan dan penerapan hukum yang lebih kuat. Namun, dalam kenyataannya hal tersebut kurang mendapat respon dari pribadi yang tak tanggap akan sebuah masalah.

Dalam dunia pendidikan saat ini juga kerap terjadi persoalan seperti kekerasan, pelecehan seksual, serta pemakaian obat terlarang. Hal ini tentu tak sejalan dengan tujuan dari pendidikan itu sendiri, sehingga ketimpanganlah yang terjadi. Menurut Undang – Undang Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003 Pasal 1 ayat 1 disebutkan bahwa Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) merumuskan fungsi dan tujuan pendidikan nasional yang harus digunakan dalam mengembangkan upaya pendidikan di Indonesia.

Pasal 3 UU Sisdiknas menyebutkan, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.

Tujuan pendidikan nasional itu merupakan rumusan mengenai kualitas manusia Indonesia yang harus dikembangkan oleh setiap satuan pendidikan. Tujuan pendidikan tersebut merupakan suatu acuan dalam pendidikan untuk membentuk pribadi yang baik. Selain itu, budaya adalah salah satu faktor untuk membentuk karakter seseorang. Kata budaya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai pikiran, akal budi atau adat-istiadat. Budaya diartikan sebagai keseluruhan sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan (belief) manusia yang dihasilkan masyarakat.

Sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan itu adalah hasil dari interaksi manusia dengan sesamanya dan lingkungan alamnya. Budaya, yang menyebabkan peserta didik tumbuh dan berkembang, dimulai dari budaya di lingkungan terdekat (kampung, RT, RW, desa) berkembang ke lingkungan yang lebih luas yaitu budaya nasional bangsa dan budaya universal yang dianut oleh umat manusia. Apabila peserta didik menjadi asing dari budaya terdekat maka dia tidak mengenal dengan baik budaya bangsa dan dia tidak mengenal dirinya sebagai anggota budaya bangsa. Hal ini akan menyebabkan peserta didik rentan dengan pengaruh budaya asing yang bersifat negatif. Budaya asing yang masuk tersebut diterima tanpa adanya seleksi dan pertimbangan, sehingga berdampak buruk bagi diri peserta didik.

Karakter merupakan watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Karakter dalam pendidikan dibutuhkan sebagai konsep bertindak dan membentuk pribadi positif peserta didik. Budaya dalam dunia pendidikan memiliki peranan yang strategis sebagai pembentuk karakter individu dan untuk membentuk itu semua diperlukan terobosan dan cara yang tepat. Salah satunya yaitu bidang kebudayaan diselipkan dalam kurikulum pendidikan serta adanya suatu usaha dari pihak sekolah dalam meningkatkankan suatu kegiatan pengembangan diri khususnya dalam bidang budaya. Selain itu, peran budaya dalam pendidikan juga tercermin dalam penanaman nilai-nilai yang merupakan muara dari kebudayaan itu sendiri.

Keteladanan, keagamaan, kebersihan, kepemimpinan, keteladanan, keramahan, toleransi, kerja keras, disiplin, kepedulian sosial, kepedulian lingkungan, rasa kebangsaan, dan tanggung jawab merupakan rangkaian perwujudan budaya yang terwujud dalam nilai-nilai tersebut yang dapat diterapkan dalam proses pembelajaran peserta didik Nilai-nilai tersebut dicantumkan dalam silabus dan RPP, sehingga akan mencetak sikap dan perilaku yang positif baik di lingkungan sekolah maupun di luar sekolah.    Pendidikan tanpa penanaman budaya dan karakter akan mudah goyah dan penyimpangan akan semakin sering terdengar di dunia pendidikan.

Oleh karena itu, pendidikan yang berbasis budaya dan karakter perlu dikembangkan dan diatur secara berkala untuk membentuk insan pendidikan yang berkarakter kuat dan cerdas dan mampu bersaing dengan dunia global tanpa mengesampingkan nilai dan karakter bangsa Indonesia.

 

Rujukan :

Sudiarja. (Yogyakarta: Kanisius, 2004). A.R Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002).

Suharso dan Ana Retnoningsih. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Semarang: Widya Karya. Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

 

Efisiensi dan Efektifitas Pendidikan


           Sesuai dengan pokok permasalahan pendidikan yang ada selain sasaran pemerataan pendidikan dan peningkatan mutu pendidikan, maka ada satu masalah lain yang dinggap penting dalam pelaksanaan pendidikan, yaitu efisiensi dan efektifitas pendidikan.   Permasalahan efisiensi pendidikan dipandang dari segi internal pendidikan.

            Maksud efisiensi adalah apabila sasaran dalam bidang pendidikan dapat dicapai secara efisien atau berdaya guna. Artinya pendidikan akan dapat memberikan hasil yang baik dengan tidak menghamburkan sumberdaya yang ada, seperti uang, waktu, tenaga dan sebagainya. Pelaksanaan proses pendidikan yang efisien adalah apabila pendayagunaan sumber daya seperti waktu, tenaga dan biaya tepat sasaran, dengan lulusan dan produktifitas pendidikan yang optimal.

                  Pada saat sekarng ini, pelaksanaan pendidikan di Indonesia jauh dari efisien, dimana pemanfaatan segala sumberdaya yang ada tidak menghasilkan lulusan yang diharapkan. Banyaknya pengangguran di Indonesia lebih dikarenakan oleh kualitas pendidikan yang telah mereka peroleh. Pendidikan yang mereka peroleh tidak menjamin mereka untuk mendapat pekerjaan sesuai dengan jenjang pendidikan yang mereka jalani. tujuan-pendidikanPendidikan yang efektif adalah pelaksanaan pendidikan dimana hasil yang dicapai sesuai dengan rencana / program yang telah ditetapkan sebelumnya.

              Jika rencana belajar yang telah dibuat oleh dosen dan guru tidak terlaksana dengan sempurna, maka pelaksanaan pendidikan tersebut tidak efektif. Tujuan dari pelaksanaan pendidikan adalah untuk mengembangkan kualitas SDM sedini mungkin, terarah, terpadu dan menyeluruh melalui berbagai upaya. Dari tujuan tersebut, pelaksanaan pendidikan Indonesia menuntut untuk menghasilkan peserta didik yang memeiliki kualitas SDM yang mantap. Ketidakefektifan pelaksanaan pendidikan tidak akan mampu menghasilkan lulusan yang berkualitas. Melainkan akan menghasilkan lulusan yang tidak diharapkan. Keadaan ini akan menghasilkan masalah lain seperti pengangguran. Penanggulangan masalah pendidikan ini dapat dilakukan dengan peningkatan kulitas tenaga pengajar.

              Jika kualitas tenaga pengajar baik, bukan tidak mungkin akan meghasilkan lulusan atau produk pendidikan yang siap untuk mengahdapi dunia kerja. Selain itu, pemantauan penggunaan dana pendidikan dapat mendukung pelaksanaan pendidikan yang efektif dan efisien. Kelebihan dana dalam pendidikan lebih mengakibatkan tindak kriminal korupsi dikalangan pejabat pendidikan. Pelaksanaan pendidikan yang lebih terorganisir dengan baik juga dapat meningkatkan efektifitas dan efisiensi pendidikan. Pelaksanaan kegiatan pendidikan seperti ini akan lebih bermanfaat dalam usaha penghematan waktu dan tenaga. ….

 

wfwsiensi.jpg

 

Pengaruh Emosi Terhadap Keefektifan Kepemimpinan


 Dalam pandangan psikologi, pengendalian diri dipandang sebagai bagian dari kompetensi emosional, sebuah penerapan kecerdasan emosional ditempat kerja (Goleman, 1998). Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan kompetensi pengendalian diri tersebut, melalui Kegiatan Belajar 5 ini Anda diajak untuk mengkaji secara umum apa kompetensi emosional itu dan bagaimana perilaku seorang yang memilik kompetensi emosional yang baik tersebut.

        Goleman (1998), setelah mengkaji model kompetensi terhadap 188 perusahaan mengevaluasi keterampilan kognitif, keterampilan teknikal, dan kecerdasan emosi, menyimpulkan bahwa, dibanding dua faktor yang lain, kecerdasan emosi merupakan faktor yang dua kali lebih penting dan lebih relevan dengan peningkatan jenjang kepemimpinan. Menurut Goleman (1995) kepemimpinan bukanlah berarti menguasai, melainkan seni meyakinkan orang untuk bekerja keras mencapai tujuan bersama. Selain itu, dalam rangka memantapkan kerja meyakinkan orang dan karir sebagai pemimpin, barangkali tidak ada yang lebih penting bagi pemimpin itu selain mengenali perasaannya yang terdalam mengenai hal-hal yang dikerjakan.

          Dengan demikian jelas bahwa secara konseptual kecerdasan emosional yang diwujudkan dalam kompetensi emosional merupakan faktor yang penting bagi keefektifan kepemimpinan organisasi dimana otoritas formal tidak lagi efektif untuk menggerakkan orang lain sebagaimana terjadi pada sekolah. Dalam organisasi seperti ini pemimpin harus  mampu menekan sampai batas minimal, bahkan meniadakan, kesenjangan herarkhis antara sang pemimpin dengan yang dipimpin. Dengan tiadanya kesenjangan herarkhis ini maka perasaan sang pemimpin akan begitu dekat dengan pengiku tnya. Sang pemimpin benar-benar bisa merasakan apa yang dirasakan oleh pengikutnya, dan pada akhirnya setiap kebijakan dan keputusan yang dibuat tidak akan didominasi oleh apa yang ia rasakan namun juga akan berdasar apa yang dirasakan oleh pengikutya.

Sejumlah penelitian terakhir mendukung hubungan antara kepemimpinan dengan kecerdasan emosional tersebut. Penelitian-penelitian ini dilakukan di berbagai negara di dunia pada organisasi-organisasi yang bergerak di berbagai sektor yang berbeda-beda, seperti industri konstruksi, kesehatan, dunia usaha, politik, dan pendidikan. Semua penelitian itu  membuktikan bahwa kecerdasan emosional pemimpin, yang diwujudkan dalam kompetensi emosional di tempat kerja, berpengaruh terhadap kepemimpinan  transformasional (Hadi, 2008).

Untuk memahami lebih jauh tentang kecerdasan emosional, berikut diuraikan secara singkat pengertian dan dimensi-dimensi dari konsep ini.

1.  Pengertian Kompetensi Emosional

Konsep  kompetensi emosional  ( emotional competencies) sangat   erat kaitannya  dengan konsep kecerdasan emosional (emotional intelligence). Kompetensi emosional dikembangkan berdasarkan konsep kecerdasan

emosional (Goleman, 2001., Boyatzis & Sala, 2004; Hunt, 2006). Kecerdasan emosional merupakan potensi awal  yang dimiliki seseorang untuk dapat mengembangkan kompetensi emosional di tempat kerja (Boyatzis, Goleman, & McKee, 2002). Menurut Cherniss (2001), kecerdasan emosional memberikan landasan bagi perkembangan sejumlah besar kompetensi yang membantu seseorang berkinerja lebih efektif. Kecerdasan emosional pada tingkat tertentu menjadi syarat untuk mengembangkan kompetensi emosional (Gowing dalam Cherniss, 2000). Kecerdasan emosional dan kompetensi emosional merupakan

dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Pembedaan yang cukup tegas antara kecerdasan emosional dan kompetensi emosional dibuat oleh  Offerman, Bailey, Vasilopoulos, Seal, dan Sass (2004). Mereka menyatakan bahwa kecerdasan emosional merupakan kecerdasan terstandar yang banyak didukung oleh

pendekatan kemampuan (ability approach), sementara kompetensi emosional memadukan kemampuan-kemampuan pokok kecerdasan emosional dengan produk-produk atau manifestasi dari kecerdasan emosional yang merefleksikan realisasi potensi kecerdasan emosional yang berbasis kemampuan tersebut.

                     Oleh karena itu setiap pembahasan kompetensi emosional selalu diawali dengan

pembahasan kecerdasan emosional, bahkan beberapa ahli menggunakan keduanya saling bergantian (misalnya Humpel & Caputi, 2001., Ciarrochi & Deane, 2001., Ciarrochi, Deane, Wilson, & Rickwood,  2002 dan Morrison, 2005).  Teori kecerdasan emosional pertama kali diperkenalkan pada tahun 1990

oleh Salovey dan Mayer (dalam Goleman, 2001a) dengan merujuk pada perkembangan terdahulu yang dikenal dengan aspek kecerdasan nonkognitif ( non-cogitive aspect of intelligence ) (Cherniss, 2000). Kecerdasan emosional merupakan salah satu domain kecerdasan dalam kerangka kecerdasan manusia.

Meskipun kecerdasan emosional merupakan domain yang berbeda dengan kecerdasan kognitif, akan tetapi pada esensinya kecerdasan emosional merupakan integrasi antara pusat-pusat emosi dalam otak (yang disebut sistem limbik) dengan pusat-pusat kognitif (korteks prefrontal) (Cherniss, 2001). Gardner

(1999) juga sepaham dengan pandangan bahwa kecerdasan emosional merupakan salah satu dari kerangka kecerdasan manusia. Dalam teori yang disebut  Multiple Intelligences, Gardner (1999) memasukkan kecerdasan emosional dalam spektrum kecerdasan personal (personal intelligence) dalam

mana terdapat dua ragam kecerdasan yang disebut kecerdasan interpersonal ( interpersonal intelligence ) dan kecerdasan intrapersonal (intrapersonal intelligence). Goleman (2001a), dalam kerangka teori kecerdasan emosional yang dikembangkannya, mensetarakan kecerdasan interpersonal versi Gardner

tersebut dengan  kesadaran diri dan  majemen diri, dan  kecerdasan intrapersonal  dengan  kesadaran sosial  dan manajemen kerjasama. Kecerdasan emosional merupakan kemampuan seseorang terkait dengan pengenalan dan pengaturan emosi yang ada dalam dirinya sendiri dan dalam diri

orang lain. Mayer, Salovey, dan Caruso  (dalam Cheniss, 2001:3) mengartikan kecerdasan emosional sebagai “The ability to perceive and express emotion, assimilate emotion in thought, understand and reason with emotion, and regulate emotion in the self and others”. Selanjutnya Goleman (2001a:14) memberi batasan yang lebih ringkas terhadap konsep kecerdasan emosional: “ Emotional

intelligence, at the most general level, refers to the  abilities to recognize and regulate emotions in ourselves and in others.” Terkait dengan definisi singkat ini, Goleman (2001a) mengusulkan empat domain utama kecerdasan emosional: Kesadaran-Diri ( Self-Awareness) ,  Manajemen-Diri (Self-Management ),

Kesadaran Sosial (Social Awareness) ,  dan Manajemen Kerjasama (Relationship Management ).

                      Dalam perkembangan lebih lanjut, konsep kecerdasan emosional banyak dikaitkan dengan kinerja seseorang di tempat kerja. Perkembangan inilah yang kemudian mendorong berkembangnya konsep kompetensi emosional (emotional competencies) yang pertama kali digulirkan oleh Goleman (1998). Boyatzis dan  Sala (2004) menyatakan bahwa bergulirnya konsep kompetensi emosional

seiring dengan digunakannya pendekatan kompetensi ( competency approach) dalam penelitian kecerdasan emosional, sebuah pendekatan   penelitian yang memfokuskan pada penjelasan dan prediksi terhadap keefektifan di berbagai bidang pekerjaan, terutama yang terkait dengan kinerja manajer dan pemimpin. Dalam pendekatan kompetensi ini kemampuan-kemampuan khusus diidentifikasi

dan divalidasi berdasarkan keefektifan, atau, sering, diteliti secara induktif dan diartikulasikan sebagai kompetensi (Boyat zis & Sala, 2004). Selain itu, Boyatzis dan  Sala (2004) juga menyebutkan bahwa kecerdasan emosional merupakan konstruk yang dapat diidentifikasi sebagai kompetensi karena kecerdasan emosional sebagai sebuah konsep terintegrasi tidak hanya menawarkan kerangka yang kuat dalam mendiskripsikan disposisi manusia—namun juga menawarkan struktur teoritik tentang organisasi kepribadian dan mengkaitkannya dengan teori tindakan dan kinerja di tempat kerja. Kompetensi didefinisikan sebagai kemampuan atau kapabilitas (Boyatzis & Sala, 2004). Kompetensi merupakan serangkaian perilaku yang berbeda-beda namun saling terkait satu dengan lainnya yang diorganisasikan berdasarkan sebuah konstruk, yang disebut “ intent ” (Boyatzis & Sala, 2004). Konstruksi kompetensi semacam itu mencakup tindakan dan  intent  memerlukan metode pengukuran yang memungkinkan dilakukannya penilaian terhadap perilaku yang tampak maupun inferensi terhadap  intent .

Dengan memadukan pengertian kompetensi dan kecerdasan emosional sebagaimana dikemukakan di atas, Goleman (2001b:27), mendefinisikan kompetensi kecerdasan emosional sebagai “a learned capability based on emotional intelligence that results in outstanding performance at work”. Dalam definisi ini, tampak bahwa kompetensi emosional merupakan  intent   dan kinerja di tempat kerja dan merupakan serangkaian kemampuan yang terkait dengannya.  Berdasarkan definisi Goleman tersebut, Boyatzis dan Sala (2004:5)

merumuskan definisi yang lebih rinci terkait dengan kompetensi kecerdasan emosional: “ emotional intelligence competency is an ability to recognize, understand, and use emotional information about oneself or others that leads to or causes effective or superior performance. ”  Terkait dengan empat dimensi kecerdasan emosional  di atas, Boyatzis dan  Sala (2004) menyatakan bahwa kecerdasan emosional merupakan serangkaian kompetensi, atau kemampuan, tentang bagaimana orang: (a) menyadari di ri sendiri; (b) mengelola diri sendiri; (c) menyadari orang lain; dan (d) mengelola relasinya dengan orang lain.   2.  Dimensi-Dimensi Kompetensi Emosional   Terdapat 20 kompetensi emosional yang diidentifikasi Goleman (2001). Sebagai sebuah konstruk yang terbangun berdasarkan konsep kecerdasan emosional, pengelompokan kompetensi- kompetensi emosional itu tetap didasarkan pada bangunan kerangka kecerdasan emosional. Goleman (2001b), yang kemudian dimodifikasi oleh Boyatzis, Goleman, dan McKee (2002), mengelompokkan kompetensi-kompetensi emosional kedalam empat dimensi

kecerdasan emosional sebagaimana telah dikemukakan di atas: kesadaran diri, manajemen diri, kesadaran sosial, dan  manajemen kerjasama. Dua kompetensi pertama disebut Kompetensi Personal (Personal Competence) dan dua lainnya disebut Komptensi Sosial (Social Competence ). Selain dari aspek personal dan sosial, kompetensi-kompetensi tersebut juga dikelompokkan menjadi  Rekognisi yang terdiri dari Kesadaran Diri dan Kesadaran Sosial dan Regulasi  yang meliputi Manajemen Diri dan Manajemen Kerjasama. Kerangka kerja kompetensi emosional tersebut kemudian disajikan sebagaimana

          Gambar 2.2. Boyatzis, Goleman, dan McKee (2002) menjelaskan kompetensi-kompetensi tersebut sebagai berikut.

    

Diri Sendiri (Kompetensi Personal)

Orang Lain (Kompetensi Sosial)

Rekognisi

Kesadaran- Diri

Kesadaran  Sosial 

 Kesadaran-diri Emosional

Empathi

Asesmen-diri yang akurat

orientasio layanan

Kepercayaan-Diri

Kesadaran organisasi

Regulasi

               Manajemen- Diri

Manajemen  Kerjasama

• Kendali-diri Emosional

• Inspirasi 

• Bertanggungjawab                  

Adaptabilitas

• Pengaruh 

• Kehati-hatian 

• Mengembangkan  orang lain 

• Mendorong Prestasi

•  Katalisator perubahan 

• Inisiatif

•  Manajemen konflik 

• Membangun kebersamaan 

• Kerja  kelompok  dan kolaborasi 

Optimisme merupakan kompetensi terakhir dari dimensi Manajemen Diri.

c. Kesadaran Sosial

d. Manajemen Kerjasama

Gambar 2.2 Kerangka Kerja Kompetensi emosional (Goleman, 2001b)

a. Keasadaran Diri

Tiga kompetensi yang termasuk dalam  dimensi ini meliputi kesadaran-diri emosional (emotional self-awareness), asesmen-diri yang akurat (accurate self-assessment), dan kepercayaan diri (self-confidence ). Individu yang memiliki kompetensi Kesadaran-Diri Emosional dapat mendengarkan tanda-tanda di dalam dirinya sendiri, mengenali bagaim ana perasaannya mempengaruhi diri dan kinerjanya. Individu itu bersedi a mendengarkan dan menyelaraskan diri dengan nilai-nilai yang membimbingnya dan seringkali secara naluriah dapat menentukan tindakan yang terbaik, melihat gambaran besar dalam situasi yang

rumit. Orang yang sadar-diri emosional dapat bersikap tegas dan otentik, mampu berbicara terbuka tentang emosinya atau berbicara dengan keyakinan yang kuat terhadap visi yang membimbingnya.

Kompetensi asesmen-diri yang tepat memampukan dengan mengetahui keterbatasan dan kekuatannya, dan menunjukkan citarasa humor mengenai dirinya sendiri. Ia menunjukkan pembelajaran yang cerdas tentang apa yang mereka pandang memerlukan perbaikan serta menerima kritik dan balikan yang membangun. Penilaian diri yang akurat memampukan seseorang mengetahui kapan harus meminta bantuan dan dimana ia harus memfokuskan dirinya pada usaha pengembangan kekuatan yang baru.

Pengetahuan yang tepat terhadap kemampuan diri sendiri akan memampukan seseorang untuk bermain-main dengan kekuatannya itu. Individu yang percaya diri mampu menerima tugas yang sulit. Individu semacam ini sering kali memiliki kepekaan terthadap keberadaannya, suatu keyakinan diri yang membuatnya menonjol ketika berada dalam kelompok.

b.  Manajemen Diri

Kompetensi-kompetensi yang termasuk dalam dimensi ini meliputi kendali-diri emosional (emotional self-control ), dapat dipercaya ( trustworthiness ), adaptabilitas (adaptability), inisiatif, mendorong prestasi (achievemen drive ), dan kehati-hatian atau  conscientiousness. Ciri-ciri dari individu yang memiliki kompetensi-kompetensi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. Seseorang yang memiliki kendali-diri emosional dapat menemukan cara-cara mengelola perasaannya yang sedang terganggu oleh pihak lain atau atas dorongan-dorongan dirinya sendiri, dan bahkan  dapat menyalurkannya kedalam cara-cara yang bermanfaat. Ciri individu  yang memiliki kompetensi kendali-diri emosional yang baik adalah orang yang tetap tenang dan berfikiran jernih ketika berada dalam tekanan tinggi atau ketika berada dalam suasana krisis—atau seseorang yang tidak goyah meskipun berhadapan dengan situasi yang menantang ketahanannya.  Seseorang yang dapat dipercaya mempertahankan nilai-nilai yang diyakininya. Istilah lain dari kompetensi ini adalah transparansi, suatu keterbukaan yang sungguh-sungguh kepada orang lain mengenai perasaan, keyakinan, dan tindakan seseorang, yang memampukan seseorang untuk memiliki integritas. Orang semacam ini mengakui secara terbuka keslahan yang diperbuat, menentang perilaku yang tidak etis kepada orang lain, dan tidak berpura-pura tidak tahu.

Adaptabilitas merupakan kompetensi yang memampukan seseorang dapat menyesuaikan diri, dapat menghadapi berbagai tuntutan tanpa kehilangan fokus atau energi, dan tetap nyaman berada pada situasi-situasi yang tidak menentu yang sering tidak dapat dihindarkan dalam kehidupan organisasi. Orang itu luwes dalam menyesuaikan dirinya dengan tantangan baru, cekatan dalam menyesuaian dengan perubahan yang berlangsung cepat, dan berfikiran gesit ketika menghadapi realitas baru.

Mandorong prestasi membuat seseorang memiliki standar pribadi yang tinggi yang mendorongnya untuk terus melakukan perbaikan kinerja—baik bagi dirinya sendiri, maupun orang lain, terutama ketika ia sedang memimpin. Orang dengan kompetensi ini bersikap pragmat is, menetapkan tujuan-tujuan yang terukur namun tetap menantang, dan mampu memperhitungkan resiko sehingga tujuan-tujuan yang dicita-citakan layak untuk dicapai. Ciri utama kompetensi ini adalah kesediaan untuk terus belajar—dan embelajarkan—berbagai cara untuk melakukan segala sesuatu dengan lebih baik. Seseorang yang memililki kepekaan akan keberhasilan—bahwa ia memiliki apa yang dibutuhkan untuk menentukan nasibnya sendiri—memiliki keunggulan dalam inisiatif. Ia mampu menangkap kesempatan—atau menciptakannya—dan bukan hanya menunggu. Individu semacam ini tidak ragu menghadapi rintangan, bahkan jika terpaksa harus penyimpang dari aturan, jika memang diperlukan untuk menciptakan peluang yang lebih baik bagi masa depan.

 

Seseorang yang optimistis dapat tetap bertahan ketika berada di tengah-tengah kepungan dan mampu melihat kesempatan, bukan ancaman. Dalam suasana yang sulit. Orang semacam ini melihat orang lain secara positif dan mengharapkan yang terbaik dari mereka. Pandangan orang semacam itu penuh dengan harapan bahwa perubahan di masa depan adalah demi sesuatu yang lebih baik.

 

  Dimensi kesadaran sosial tersusun oleh empati, kesadaran organisasi

( organizational awareness), dan orientasi layanan ( service orientation). Individu yang berempati mampu mendengarkan berba gai tanda emosi, membiarkan diri merasakan emosi yang dirasakan oleh seseorang atau sekelompok orang meskipun tidak dikatakan. Orang ini mendengarkan dengan cermat dan dapat menangkap cara pandang orang lain. Empati membuatnya dapat bekerja sama dengan baik dengan orang-orang y ang berasal dari berbagai latar belakang atau budaya.

Kesadaran berorganisasi yang tinggi dapat membuat seseorang cerdas secara politis, mampu mendeteksi jaringan kerja sosial yang penting dan membaca hubungan kerjasama yang penting. Orang ini dapat memahami kekuatan politik yang sedang berkembang di dalam organisasi, juga nilai-nilai yang membimbing jalannya organisasi , dan aturan-aturan nonverbal yang berlaku dikalangan orang-orang yang ada di sekitarnya. Pemimpin yang memiliki kompetensi pelayanan yang tinggi menumbuhkan iklim emosi yang membuat orang-orang yang berada pada posisi berhubungan langsung dengan pelanggan atau klien, akan menjaga hubungan dengan cara yang benar. Pemimpin seperti ini memantau kepuasan pelanggan

dengan teliti untuk memastikan bahwa mereka mendapatkan apa yang mereka butuhkan. Pemimpin itu juga membuka dan menyediakan diri ketika diperlukan.

 

Lima kompetensi yang merupakan jabaran dari dimensi ini meliputi inspirasi ( inspiring ) , pengaruh ( influence ), mengembangkan orang lain ( developing others), katalisator perubahan (calalizing change), manajemen konflik ( conflict management), kerja kelompok dan kolaborasi ( teamwork and collaboration ).   Pemimpin yang menginspirasi akan menciptakan resonansi serta menggerakkan orang dengan visi yang menyemangati atau misi bersama. Pemimpin seperti ini menjalankan sendiri apa yang dimintanya dari orang lain dan mampu mengartikulasikan suatu misi bersama dengan cara yang membangkitkan inspirasi orang untuk mengikutinya. Mereka menawarkan perasaan tujuan di balik tugas sehari-hari dan membuat pekerjaan menjadi lebih menggembirakan. Tanda kekuatan pengaruh pemimpin berkisar pada kecerdasannya dalam menemukan daya tarik yang tepat bagi  pendengar tertentu sampai mengetahui cara mendapatkan persetujuan dari orang-orang penting dan membangun jaringan pendukung atas inisiatif yang dibuatnya. Pemimpin yang mahir

mempengaruhi memiliki kemampuan membujuk dan melibatkan orang lain ketika berhadapan dengan kelompol. Kompetensi mengembangkan orang lain membuat seseorang mahir menunjukkan minat yang tulus kepada pihak yang dibantunya, memahami tujuan, kekuatan serta kelema han mereka. Orang semacam ini dapat memberikan umpanbalik yang membangun pada waktu yang tepat, dan merupakan mentor atau pembimbing yang alami.  Pemimpin dengan kompetensi menjadi katalisator perubahan mampu mengenali kebutuhan akan perubahan, menantang  status quo,  dan memperjuangkan aturan baru. Mereka dapat menjadi penasihat yang kuat terhadap perubahan bahkan di hadapan oposisi sekalipun, dan mampu membuat argumentasi yang mampu menumbuhkan semangat. Mereka juga menemukan cara-cara yang praktis  untuk mengatasi hambatan perubahan. Pengelolaan konflik  merupakan kompetensi yang membuat seorang mampu menggalang berbagai pihak, memahami sudut pandang yang berbeda, dan kemudian menemukan cita-cita bersa ma yang dapat disepakati oleh setiap orang. Mereka mengangkat konflik ke permukaan, mengakui perasaan dan pandangan dari semua pihak, dan kemudian mengarahkan energi ke arah cita-cita bersama. Pemimpin yang mampu bekerja dalam tim akan menumbuhkan suasana kekerabatan yang ramah dan mereka sendiri mencontohkan penghargaan, sikap bersedia membantu, dan kerjasama. Mereka menarik orang-orang ke dalam komitmen yang aktif dan antusias bagi usaha bersama, dan membangun

semangat serta identitas. Mereka meluangkan waktu untuk menumbuhkan dan mempererat kerjasama yang akrab, lebih dari sekadar tuntutan dan kewajiban pekerjaan.

                    Emotional Competencies  atau kompetensi emosional merupakan kemampuan khusus agar seseorang terampil memanfaatkan kecerdasan emosinya dalam perilaku kepemimpinannya. Sebagai penyokong kepemimpinan yang efektif, kompetensi ini dikelompokkan menurut empat dimensi: kesadaran diri (self awareness), manajemen diri  (self management), kesadaran sosial (social awareness), dan keterampilan sosial (social skills). Kesadaran Diri adalah kemampuan yang mencakup kesadaran  emosional diri sendiri, penilaian diri secara akurat, dan rasa percaya di ri. Manajemen Diri meliputi adaptibilitas, pengendalian emosi diri, inisiatif, orientasi kepada prestasi, dapat dipercaya, dan optimisme. Kesadaran Sosial  mencakup empati, orientasi melayani, dan kesadaran organisasional. Manajemen Kerjasama  terdiri dari kepemimpinan inspirasional, pengembangan orang lain, katasilator perubahan, manajemen konflik, kerja tim dan kolaborasi.

 

 

Kepala Sekolah Pemimpin Pendidikan


Dalam upaya menggerakkan dan memotivasi orang lain agar melakukan tindakan-tindakan yang terarah pada pencapaian tujuan, seorang pemimpin melakukan dalam beberapa cara. Cara yang ia lakuakn merupakan pencerminan sikap serta gambaran tentang tipe (bentuk) kepemimpinan yang dijalankannya. Adapun gaya atau tipe kepemimpinan yang pokok atau juga disebut ekstrem ada tiga tipe atau bentuk kepemimpinan yaitu: a. Kepemimpinan Otoriter Kepemimpinan otoriter adalah kepemimpinan yang bertindak sebagai diktor terhadap anggota-anggota kelompoknya. Baginya memimpin adalah menggerakkan dan memaksa kelompok. Apa yang diperintahnya harus dilaksanakan secara utuh, ia bertindak sebagai penguasa dan tidak dapat dibantah sehingga orang lain harus tunduk kepada kekuasaanya. Ia menggunakan ancaman dan hukuman untuk menegakkan kepemimpinannya. Kepemimpian otoriter hanya akan menyebabkan ketidakpuasan dikalangan guru. b. Kepemimpinan Laissez Faire Bentuk kepemimpinan ini merupakan kebalikan dari kepemimpinan otoriter. Yang mana kepemimpinan laissez faire menitik beratkan kepada kebebasan bawahan untuk melakukan tugas yang menjadi tanggung jawabnya. Pemimpin lasses faire banyak memberikan kebebasan kepada personil untuk menentukan sendiri kebijaksanaan dalam melaksanakan tugas, tidak ada pengawasan dan sedikit sekali memberikan pengarahan kepada personilnya. Kepemimpinan Laissez Faire tidak dapat diterapkan secara resmi di lembaga pendidikan, kepemimpinan laissez faire dapat mengakibatkan kegiatan yang dilakuakn tidak terarah, perwujudan kerja simpang siur, wewenang dan tanggungjawab tidak jelas, yang akhirnya apa yang menjadi tujuan pendidikan tidak tercapai. c. Kepemimpinan Demokratis Bentuk kepemimpinan demokratis menempatkan manusia atau personilnya sebagai factor utama dan terpenting. Hubungan antara pemimpin dan orang-orang yang dipimpin atau bawahannya diwujudkan dalam bentuk human relationship atas dasar prinsip saling harga-menghargai dan hormat-menghormati. Dalam melaksanakan tugasnya, pemimpin demokratis mau menerima dan bahkan mengharapkan pendapat dan saran-saran dari bawahannya, juga kritik-kritik yang membangun dari anggota diterimanya sebagai umpan balik atau dijadikan bahan pertimbangan kesanggupan dan kemampuan kelompoknya. Kepemimpinan demokratis adalah kepemimpinan yang aktif, dinamis, terarah yang berusaha memanfaatkan setiap personil untuk kemajuan dan perkembangan organisasi pendidikan. d. Fungsi Kepemimpinan Pendidikan Kependidikan adalah proses menggerakkan, mempengaruhi, memberikan motivasi dan mengarahkan orang-orang dilembaga pendidikan untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan sebelumnya. Untuk mewujudkan tugas tersebut seorang pemimpin harus mampu bekerjasama dengan orang yang dipimpinnya. Seorang pemimpin harus tahu fungsi dan peranannya sebagai pemimpin. Adapun fungsi kepemimpinan adalah pada dasarnya dapat dibagai menjadi dua yaitu: a) Fungsi yang bertalian dengan tujuan yang hendak dicapai · Pemimpin berfungsi memikirkan dan merumuskan dengan teliti tujuan kelompok serta menjelaskan supaya anggota dapat berkerjasama mencapai tujuan itu. · Pemimpin berfungsi memberi dorongan kepada anggota-anggota kelompok untuk menganalisis situasi supaya dapat dirumuskan rencana kegiatan kepemimpinan yang dapat memberi harapan baik. · Pemimpin berfungsi membantu anggota kelompok dalam memberikan keterangan yang perlu supaya dapat mengadakan pertimbangan yang sehat. · Pemimpin berfungsi menggunakan kesempatan dan minat khusus anggota kelompok. b) Fungsi yang bertalian dengan suasana pekerjaan yang sehat dan menyenangkan · Pemimpin berfungsi memupuk dan memelihara kebersamaan di dalam kelompok. · Pemimpin berfungsi mengusahakan suatu tempat bekerja yang menyenangkan, sehingga dapat dipupuk kegembiraan dan semangat bekerja dalam pelaksanaan tugas. · Pemimpin dapat menanamkan dan memupuk perasaan para anggota bahwa mereka termasuk dalam kelompok dan merupakan bagian dari kelompok.image_thumb Syarat-Syarat Kepemimpinan Pendidikan Mengenai syarat-syarat kepemimpinan, syarat kepemimpinan pendidikan adalah: a. Memiliki kesehatan jasmaniah dan rohaniah yang baik. b. Berpegang teguh pada tujuan yang hendak dicapai. c. Bersemangat d. Jujur e. Cakap dalam memberi bimbingan f. Cepat serta bijaksana dalam mengambil keputusan g. Cerdas h. Cakap dalam hal mengajar dan menaruh kepercayaan kepada yang baik dan berusaha mencapainya….

 

 

 

Pengembangan Sistem Penilaian/Evaluasi belajar


Implementasi Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan membawa implikasi terhadap sistem penilaian, termasuk model dan teknik penilaian yang dilaksanakan di kelas. Di dalam keputusan Mendiknas nomor 012/U/2002 tanggal 28 Januari 2002: tentang Jenis dan Bentuk Penilaian terutama BAB III Pasal 3 dinyatakan bahwa:

(1) Jenis penilaian di sekolah terdiri atas Penilaian Kelas dan Ujian,

(2) Selain jenis penilaian sebagaimana yang dimaksud pada ayat 1 dapat dilakukan penilaian Tes Kemampuan Dasar dan Penilaian Mutu Pendidikan,

(3) Penilaian dilakukan melalui tes tertulis, tes lisan, tes perbuatan atau praktik, pemberian tugas, dan kumpulan hasil kerja peserta didik atau yang disebut portofolio, dan

(4) Penilaian Kelas dan Ujian meliputi ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Masalah penilaian ini dipertegas lagi dengan keputusan Mendiknas nomor 047/U/2002 tanggal 4 April 2002 tentang Ujian Akhir yang dinyatakan bahwa pelaksanaan kurikulum mengharuskan semua guru di sekolah untuk menerapkan sistem Penilaian Berbasis Kompetensi. Dengan sistem ini diharapkan penilaian dapat dilaksanakan secara menyeluruh dan berkesinambungan. Penilaian tidak hanya menitikberatkan pada kemampuan kognitif saja akan tetapi juga mencakup ranah psikomotorik dan afektif. Penilaian kelas adalah penilaian yang dilakukan secara terpadu dengan proses pembelajaran, menggunakan multimetode, menyeluruh, berkesinambungan sehingga mampu mendorong peserta didik untuk lebih berprestasi. Penilaian kelas disebut juga penilaian otentik, penilaian alternatif, atau penilaian kinerja yang dilakukan secara menyeluruh yakni menyangkut seluruh ranah kemampuan dan berkesinambungan sehingga mampu mendorong peserta didik untuk lebih berprestasi. Pengertian penilaian alternatif adalah penilaian non-tradisional dan penilaian yang tidak sekedar mengandalkan paper and pencil test. Penilaian pencapaian kompetensi dasar peserta didik dilakukan berdasarkan indikator. Penilaian dilakukan menggunakan tes dan non tes dalam bentuk tertulis maupun lisan, pengamatan kinerja, sikap, penilaian hasil karya berupa proyek atau produk, penggunaan portofolio, dan penilaian diri…..

TUGAS DAN PERANAN KEPALA SEKOLAH


Sekolah dasar merupakan salah satu organisasi pendidikan yang utama dalam jenjang pendidikan dasar. Dalam peraturan pemerintah Republik Indonesia nomor 28 tahun 1990 telah disebutkan bahwa pendidikan dasar bertujuan untuk memberikan bekal kemampuan dasar kepada peserta didik untuk mengembangkan kehidupannya sebagai pribadi, anggota masyarakat, warga negara, dan anggota umat manusia, serta mempersiapkan peserta didik untuk mengikuti pendidikan menengah. Berdasarkan rumusan tersebut, dapat digarisbawahi bahwa sekolah dasar sebagai lembaga pendidikan dasar diharapkan bisa berfungsi sebagai:

(1) peletak dasar perkembangan pribadi anak untuk menjadi warga negara yang baik,

(2) peletak dasar kemampuan dasar anak, dan

(3) penyelenggara pendidikan awal untuk persiapan melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, yaitu pendidikan menengah. Kemampuan dasar utama yang diberikan kepada anak sekolah dasar adalah kemampuan dasar yang membuat bisa berpikir kritis dan imajinatif yang tercermin dalam modus kemampuan menulis, berhitung dan membaca. Ketiga aspek kemampuan dasar tersebut merupakan kemampuan utama yang dibutuhkan dalam abad informasi. image Ditinjau dari komponennya, ada beberapa unsur atau elemen utama dalam organisasi sekolah dasar. Unsur-unsur tersebut meliputi:

(1) sumber daya manusia, yang mencakup kepala sekolah, guru, pegawai administrasi, dan siswa,

(2) sumber daya material, yang mencakup peralatan, bahan, dana, dan sarana prasarana lainnya, (3) atribut organisasi, yang mencakup tujuan, ukuran, struktur tugas, jenjang jabatan, formalisasi, dan peraturan organisasi,

(4) iklim internal organisasi, yakni situasi organisasi yang dirasakan personel dalam proses interaksi, dan

(5) lingkungan organisasi sekolah.

peran  Kepala Sekolah

Ditinjau dari karakteristiknya, sekolah dasar merupakan suatu sistem organisasi. Sebagai suatu sistem organisasi, sekolah dasar bisa ditinjau dari dua sisi, yaitu sisi struktur organisasi dan perilaku organisasi. Struktur organisasi mengacu pada framework organisasi, yaitu tata pembagian tugas dan hubungan baik secara vertikal, horizontal dan diagonal.

Hal ini bisa mencakup spesifikasi jabatan, pembagian tugas, garis perintah, peraturan organisasi, serta hierarki kewenangan dan tanggung jawab. Perilaku organisasi mengacu pada aspek-aspek tingkah laku manusia dalam organisasi. Organisasi sekolah dipandang sebagai suatu sistem sosial, yang di dalamnya terjadi interaksi antar individu untuk mencapai tujuan organisasi. Salah satu atribut yang banyak berkaitan dengan interaksi perilaku individu dalam organisasi adalah budaya organisasi. Budaya organisasi adalah ikatan sosial yang mengikat anggota suatu organisasi secara bersama dalam memberikan nilai-nilai, alat simbolis dan ide-ide sosial. Budaya organisasi sebagai suatu kerangka kognitif yang berisi sikap, nilai, norma, perilaku, dan harapan yang dimiliki anggota organisasi.

Dengan menggunakan pendekatan sosiologis dan psikologis, Getzel dan Guba mengemukakan bahwa perilaku individu dalam organisasi dipengaruhi oleh dua dimensi, yaitu dimensi institusi yang dikenal dengan istilah nomothetic dimension, dan dimensi individu yang dikenal dengan istilah idiographic dimension. Ditinjau dari sisi institusi, setiap anggota dituntut untuk bertindak sesuai dengan peranan dan harapan untuk mencapai tujuan organisasi. Ditinjau dari sudut individu, setiap anggota dituntut untuk bertindak sesuai dengan pribadi dan kebutuhannya, maupun norma-norma institusi.

    Bila diterapkan dalam organisasi sekolah dasar, ada tiga komponen yang berkaitan dengan budaya organisasi sekolah dasar, yaitu:

(1) institusi atau lembaga yang perannya dilakukan oleh kepala sekolah sebagai pemimpin organisasi sekolah,

(2) guru-guru sekolah dasar sebagai individu yang memiliki kepribadian dan kebutuhan, baik kebutuhan profesional maupun kebutuhan sosial, dan

(3) interaksi dari kedua komponen tersebut. Untuk itu, kepala sekolah harus mampu mengintegrasikan kedua komponen tersebut, yakni peranan, tuntutan dan harapan lembaga, dengan kepribadian, dan kebutuhan guru, agar bisa mencapai tujuan organisasi secara optimal. Keberhasilan organisasi sekolah banyak ditentukan keberhasilan kepala sekolah dalam menjalankan peranan dan tugasnya. Peranan adalah seperangkat sikap dan perilaku yang harus dilakukan sesuai dengan posisinya dalam organisasi. Peranan tidak hanya menunjukkan tugas dan hak, tapi juga mencerminkan tanggung jawab dan wewenang dalam organisasi. Ada banyak pandangan yang mengkaji tentang peranan kepala sekolah dasar.

Tiga klasifikasi peranan kepala sekolah dasar, yaitu:

(1) peranan yang berkaitan dengan hubungan personal, mencakup kepala sekolah sebagai figurehead atau simbol organisasi, leader atau pemimpin, dan liaison atau penghubung,

(2) peranan yang berkaitan dengan informasi, mencakup kepala sekolah sebagai pemonitor, disseminator, dan spokesman yang menyebarkan informasi ke semua lingkungan organisasi, dan (3) peranan yang berkaitan dengan pengambilan keputusan, yang mencakup kepala sekolah sebagai entrepreneur, disturbance handler, penyedia segala sumber, dan negosiator.

 

Berikut adalah empat belas peranan kepala sekolah dasar, yaitu:

(1) kepala sekolah sebagai business manager,

(2) kepala sekolah sebagai pengelola kantor,

(3) kepala sekolah sebagai administrator,

(4) kepala sekolah sebagai pemimpin profesional,

(5) kepala sekolah sebagai organisator,

(6) kepala sekolah sebagai motivator atau penggerak staf,

(7) kepala sekolah sebagai supervisor,

(8) kepala sekolah sebagai konsultan kurikulum,

(9) kepala sekolah sebagai pendidik,

(10) kepala sekolah sebagai psikolog,

(11) kepala sekolah sebagai penguasa sekolah,

(12) kepala sekolah sebagai eksekutif yang baik,

(13) kepala sekolah sebagai petugas hubungan sekolah dengan masyarakat, dan

(14) kepala sekolah sebagai pemimpin masyarakat.

Dari keempat belas peranan tersebut, dapat diklasifikasi menjadi dua, yaitu kepala sekolah sebagai administrator pendidikan dan sebagai supervisor pendidikan. Business manager, pengelola kantor, penguasa sekolah, organisator, pemimpin profesional, eksekutif yang baik, penggerak staf, petugas hubungan sekolah masyarakat, dan pemimpin masyarakat termasuk tugas kepala sekolah sebagai administrator sekolah. Konsultan kurikulum, pendidik, psikolog dan supervisor merupakan tugas kepala sekolah sebagai supervisor pendidikan di sekolah.

Tugas kepala sekolah menjadi dua, yaitu tugas dari sisi administrative process atau proses administrasi, dan tugas dari sisi task areas bidang garapan pendidikan. Tugas merencanakan, mengorganisir, meng-koordinir, melakukan komunikasi, mempengaruhi, dan mengadakan evaluasi merupakan komponen-komponen tugas proses. Program sekolah, siswa, personel, dana, fasilitas fisik, dan hubungan dengan masyarakat merupakan komponen bidang garapan kepala sekolah dasar. Di sisi lain, sesuai dengan konsep dasar pengelolaan sekolah, enam bidang tugas kepala sekolah dasar, yaitu mengelola pengajaran dan kurikulum, mengelola siswa, mengelola personalia, mengelola fasilitas dan lingkungan sekolah, mengelola hubungan sekolah dan masyarakat, serta organisasi dan struktur sekolah. Berdasarkan landasan teori tersebut, dapat digarisbawahi bahwa tugas-tugas kepala sekolah dasar dapat diklasifikasi menjadi dua, yaitu tugas-tugas di bidang administrasi dan tugas-tugas di bidang supervisi. Tugas di bidang administrasi adalah tugas-tugas kepala sekolah yang berkaitan dengan pengelolaan bidang garapan pendidikan di sekolah, yang meliputi pengelolaan pengajaran, kesiswaan, kepegawaian, keuangan, sarana-prasarana, dan hubungan sekolah masyarakat. Dari keenam bidang tersebut, bisa diklasifikasi menjadi dua, yaitu mengelola komponen organisasi sekolah yang berupa manusia, dan komponen organisasi sekolah yang berupa benda. Tugas di bidang supervisi adalah tugas-tugas kepala sekolah yang berkaitan dengan pembinaan guru untuk perbaikan pengajaran. Supervisi merupakan suatu usaha memberikan bantuan kepada guru untuk memperbaiki atau meningkatkan proses dan situasi belajar mengajar. Sasaran akhir dari kegiatan supervisi adalah meningkatkan hasil belajar siswa. Keberhasilan kepala sekolah dalam melaksanakan tugasnya banyak ditentukan oleh kepemimpinan kepala sekolah.

Kepemimpinan merupakan faktor yang paling penting dalam menunjang tercapainya tujuan organisasi sekolah. Keberhasilan kepala sekolah dalam mengelola kantor, mengelola sarana prasarana sekolah, membina guru, atau mengelola kegiatan sekolah lainnya banyak ditentukan oleh kepemimpinan kepala sekolah. Apabila kepala sekolah mampu menggerakkan, membimbing, dan mengarahkan anggota secara tepat, segala kegiatan yang ada dalam organisasi sekolah akan bisa terlaksana secara efektif. Sebaliknya, bila tidak bisa menggerakkan anggota secara efektif, tidak akan bisa mencapai tujuan secara optimal. Untuk memperoleh gambaran yang jelas, bagaimana peranan kepemimpinan dalam pengelolaan sekolah, maka perlu diuraikan tentang konsep dasar kepemimpinan kepala sekolah dasar….. Baca Selengkapnya di : http://www.m-edukasi.web.id/2013/10/tugas-dan-peranan-kepala-sekolah.html
Copyright http://www.m-edukasi.web.id Media Pendidikan Indonesia